Seandainya kau ada, aku ingin melambaikan tangan dari sini, diperbatasan ini, seperti biasanya aku melambaikan tanganku untuk meninggalkan orang yang aku cintai.
Pengalaman yang tak seperti biasanya setelah 5 tahun lalu, aku tidak pernah lagi menaiki kereta api, kali ini aku melihat pemandangan yang berbeda.
Stasiun Gubeng, adalah salah satu stasiun di kota Surabaya yang merupakan stasiun terbesar di kota ini. Pintu masuk dan akses menuju stasiun Gubeng Baru adalah jalan memutar dari stasiun lama melewati pertigaan sebelum POM bensin dari arah utara ke kiri, mengikuti arah lurus sampai jalan Gubeng Masjid.
"Parkir Kendaraan"
Di pintu gerbang stasiun telah tertulis jalan masuk untuk kendaraan beroda empat dan di sisi lain tertulis jalan masuk kendaraan beroda dua, untuk pintu keluar dan masuk kendaraan beroda empat cuma dipisahkan dengan pembatas kira-kira sekitar 40cm dari paving block, begitu pula dengan jalan masuk kendaraan beroda dua, disisi tengah antara pembatas jalan terdapat penjaga karcis parkir yang berjaga 24 jam.
Untuk tarif parkir roda dua adalah Rp. 3.000,- , untuk 1 hari atau dalam 24 jam Rp. 9.000,- , untuk hari kedua dan seterusnya dikenai biaya + Rp. 10.000,- , jadi bila kita parkir 2 hari akan dikenai biaya Rp.19.000,- , bila kita parkir kendaraan 3 hari akan dikenai Rp. 29.000.-.
"Porter"
Sebagian anak yang lahir di tahun 2000'an pasti asing dengan kata porter. Porter merupakan salah satu profesi yang sering terlihat di terminal, stasiun, dan mungkin di pelabuhan. Ia merupakan orang-orang yang perkasa, karena mampu membawa lebih dari satu sampai dua koper sekaligus. "Ya", mereka menawarkan jasa untuk membawakan barang-barang penumpang untuk ditaruhkan ke dalam bagasi. Sebagian dari kita terkadang mengacuhkan mereka namun kali ini ia menjadi pusat perhatianku, ia adalah seorang tua yang cukup kuat untuk membawa barang-barang orang lain,
berbaju orange bernomor punggung 67, ia berjalan menyusuri jalan panjang disisi pinggir kereta untuk membawa beberapa koper dengan bantuan troli. itu dia, mataku tertuju ke dia, namun aku lagi-lagi tak bisa berkata-kata, aku hanya berandai jika ku membawa barang banyak dan berlebih mungkin aku akan membutuhkan bantuannya.
Semakin jauh ia berjalan membawa troli itu, sejenak aku berfikir, mungkin ibu itu si pemilik barang?, mungkin juga ibu itu ingin melancarkan rejeki pak tua tadi!. Pada setiap tempat pemberhentian kendaraan, ia mempunyai ciri khas dan penanda yang berbeda sebagai identitas bagi mereka yang berprofesi sebagai porter, ada yang memakai hem seragam dan ada yang mengenakan rompi seragam, menurut saya saran agar lebih aman menggunakan jasa porter yang berseragam, daripada yang tidak, karena kita akan lebih mudah mengenali mereka yang berseragam daripada yang tidak. Porter yang berseragam mempunyai komunitas daerahnya sendiri, komunitas ini membantu agar kita dapat meminimalkan resiko kehilangan barang.
" Kereta LOGAWA"
Aku menyusuri lorong pejalan kaki di sisi kanan kereta Logawa, kereta yang akan aku naiki ke Jawa Tengah kampungku, sekitar pukul 10.45 aku duduk di gerbong 4 nomor D24. aku duduk dengan empat orang lainnya yang juga menuju arah yang sama, yaitu ke barat. Di dalam kereta aku merasakan perbedaan yang sangat berbeda dari 5 tahun lalu, disini sudah tidak ada lagi pedagang-pedagang mainan yang berjualan sambil berteriak "mobile-mobile" atau "Aqua-Aqua" dsb. Suasana kali ini sungguh hening yang terdengar hanya deruan roda kereta dan bunyi "Tut-Tut" bell kereta api. Selain itu, kami merasa nyaman dengan AC yang menyala dan mendinginkan ruangan pada setiap gerbong, tidak hanya itu, kami juga merasa aman karena tak ada lagi pengamen ataupun pengemis yang meminta uang secara paksa. Kereta ini berjalan sangat jauh menyusuri sawah-sawah, perkotaan, lembah-lembah, dan beberapa terowongan untuk menembus gunung-gunung atau bukit-bukit yang akan dilalui. Perjalanan ini terasa sangat lama, beberapa kali aku berhenti di stastiun-stasiun yang cukup besar, dari Surabaya-Gubeng menuju ke Mojokerto, Jombang, Kertosono, Nganjuk, Saradan, Madiun, Kedunggalar, Sragen, Purwosari, Klaten, Lempuyangan, Wates, Purworejo, Kutoarjo, Kutowinangun, Kebumen, Karanganyar, Gombong, sampai dengan Sumpiuh.
Pukul 19.30 sekitar delapan jam perjalanan yang aku lalui untuk sampai menuju kota kecil berjuta kenangan, kampungku tercinta kota Sumpiuh kota kecil di daerah selatan kab. Banyumas.